Ketika pendidikan tak lagi menghidupkan akal budi, dengarkan lagi Ki Hadjar Dewantara

id Ki Hadjar Dewantara,(UGM,Universitas Gadjah Mada,Mahasiswa Pascasarjana ,Yogyakarta,Kalteng

Ketika pendidikan tak lagi menghidupkan akal budi, dengarkan lagi Ki Hadjar Dewantara

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yunisa Cahyani. ANTARA/HO

Palangka Raya (ANTARA) - Krisis dalam dunia pendidikan Indonesia bukan hanya persoalan rendahnya skor PISA atau banyaknya anak putus sekolah. Lebih dalam dari itu, kita tengah menghadapi "krisis menjadi manusia" yakni ketika pendidikan tak lagi menghidupkan akal budi, rasa, dan raga peserta didik.

Sekolah telah menjadi tempat untuk menghafal dan mengejar nilai, namun sering lupa membina rasa, karakter, dan kesehatan jiwa-raga peserta didik.

Ki Hadjar Dewantara atau di kenal dengan sebutan Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, sudah sejak lama mengingatkan bahwa pendidikan sejati adalah yang menuntun tumbuhnya kodrat anak secara alami, menuju kebijaksanaan hidup yang sesungguhnya (angesti widji). Kini, dalam semangat pendidikan yang berpihak pada anak, kita diingatkan kembali bahwa tugas utama pendidik adalah "berhamba pada sang anak," bukan untuk meminta hak, tetapi untuk membimbing dan menemani mereka tumbuh.

Sudah saatnya kita menengok kembali ke akar filosofi pendidikan kita sendiri, yang bersumber pada nilai-nilai luhur budaya dan manusia Indonesia.

Dengan pendekatan logic model, kita dapat memetakan krisis ini secara sistematis. Input dari sistem pendidikan kita saat ini mencakup kurikulum yang padat akademik, guru yang terbebani administrasi, dan minimnya integrasi antara pelajaran dengan konteks kehidupan nyata.

Kurikulum dan pelatihan guru terlalu fokus pada aspek kognitif semata, sementara aspek rasa dan raga belum mendapatkan porsi yang layak. Padahal, filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa anak bukanlah tabula rasa, tetapi individu yang sudah membawa kekuatan kodratnya sendiri yang harus dituntun dengan cara yang sesuai dengan konteks dan budaya mereka. Pendidikan yang baik seharusnya menyentuh tiga sisi manusia: logika (rasio), rasa (emosi dan empati), serta raga (fisik dan kesehatan).

Output dari sistem seperti ini adalah siswa yang cerdas secara kognitif, namun kehilangan sensitivitas sosial dan emosional. Anak-anak duduk diam dalam waktu panjang, dengan ruang yang minim untuk bergerak dan berekspresi. Akibatnya, mereka mudah merasa jenuh, tertekan, bahkan mengalami stres sejak dini.

Dalam kerangka berpikir Aristoteles, pendidikan yang ideal adalah yang menyeimbangkan logos (akal sehat), ethos (karakter), dan pathos (perasaan), namun sistem pendidikan kita saat ini berat sebelah hanya pada aspek logos. Sementara outcome-nya, kita melihat rendahnya kepedulian terhadap lingkungan, kurangnya kemampuan kolaborasi, hingga tekanan psikologis yang meningkat di kalangan siswa.

Impact jangka panjang yang ditakuti adalah lahirnya generasi yang unggul dalam logika, namun kering dalam rasa dan lumpuh dalam raga.

Ki Hadjar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan harus menuntun anak mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia dan anggota masyarakat. Ia menekankan pentingnya cipta, rasa, karsa, dan pekerti sebagai fondasi pembentukan budi pekerti yang utuh.

Namun dalam praktiknya, pendidikan kita belum berpihak penuh pada kodrat anak, termasuk kebutuhan untuk bermain, berekspresi secara seni, serta berkembang dalam lingkungan sosial budaya yang sesuai.

Pendidikan seimbang yang mengintegrasikan olahraga dan musik sejak usia dini telah terbukti memperkuat koneksi otak, mengurangi stres, dan meningkatkan keterampilan sosial. Negara seperti Finlandia telah menunjukkan bahwa anak-anak belajar menjadi manusia terlebih dahulu sebelum menjadi pelajar.

Di Jepang, pembelajaran dimulai dengan senam pagi dan pelajaran moral, sementara Korea Selatan dan Singapura mengintegrasikan seni dan pendidikan karakter sebagai bagian inti dari sistem mereka.

Dalam merancang ulang pendidikan Indonesia, pendekatan ethos-pathos-logos dari Aristoteles dapat memberi arah. Ethos menekankan pentingnya keteladanan dari guru; pathos memastikan bahwa proses belajar menyentuh emosi dan perasaan murid; dan logos menjamin bahwa kurikulum serta kebijakan yang diterapkan tetap logis dan kontekstual.

Filosofi Ki Hadjar Dewantara juga menyarankan bahwa pendidikan tidak bisa lepas dari konteks budaya, dari NeNeMo di Tulang Bawang hingga Tri Hita Karana di Bali, semua kearifan lokal dapat menjadi medium untuk "menebalkan laku" anak agar tumbuh menjadi manusia seutuhnya.


Mengatasi Krisis Pendidikan

Untuk itu, kita perlu menyusun kembali sistem pendidikan kita agar lebih berpihak kepada anak. Kurikulum harus memberi ruang bagi seni, olahraga, dan ekspresi budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran utama. Kurikulum yang berpihak pada anak bukan berarti menambah beban, tetapi justru membuka ruang napas di sela padatnya materi.

Misalnya, kegiatan olahraga tak harus berdiri sendiri—senam pagi bisa dikaitkan dengan pelajaran IPA tentang sistem gerak, atau permainan tradisional dimanfaatkan dalam pembelajaran matematika.

Begitu pula seni, anak bisa diajak membuat poster sejarah, menulis puisi dalam pelajaran Bahasa Indonesia, atau memainkan alat musik daerah sebagai bagian dari eksplorasi budaya.Dengan kolaborasi antar guru, seni dan olahraga bukan beban tambahan, melainkan jembatan belajar yang menyenangkan dan bermakna.

Guru perlu diberdayakan sebagai fasilitator yang mampu berhamba pada murid, bukan sekadar pelaksana administrasi. Tentu, membayangkan pendidikan seperti ini terasa indah. Tapi jalan ke sana tak selalu mulus. Salah satu tantangan terbesarnya justru ada di cara berpikir kita sendiri—guru, orang tua, bahkan pembuat kebijakan.

Kita masih sering terpaku pada angka, rangking, dan rapor sebagai satu-satunya tanda keberhasilan.


Belajar Menjadi Manusia: Rasio, Rasa, Raga

Padahal, seperti kata Ki Hadjar Dewantara, tugas pendidikan bukan mencetak angka, tapi membimbing anak tumbuh menurut kodratnya. Perlu keberanian untuk menggeser pandangan ini. Butuh waktu, dialog, dan keteladanan agar kita semua—baik di ruang kelas maupun ruang tamu—berani melihat anak sebagai manusia seutuhnya, bukan sekadar murid yang harus dapat nilai sempurna. Saat ini kita juga perlu membangun lingkungan belajar yang bahagia, reflektif, kolaboratif, dan menghargai keberagaman konteks sosial budaya anak.

Dengan cara ini, impact yang kita harapkan bukan hanya tercapainya indikator akademik, tetapi terbentuknya generasi yang cerdas, sehat, berbudaya, dan seimbang secara jiwa dan raga. Mengatasi krisis pendidikan berarti juga belajar kembali menjadi manusia. Untuk itu, kita tidak perlu mencari terlalu jauh, sebab kita sudah memiliki warisan pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang begitu dalam dan kontekstual. Kini saatnya kita berhenti sekadar menghafal namanya, dan mulai benar-benar mendengarkan suaranya—menata kembali pendidikan yang menuntun, membebaskan, dan memanusiakan.

Karena masa depan bangsa dimulai dari bagaimana kita mendidik anak-anak hari ini dan itu tidak bisa hanya dilakukan dengan buku pelajaran dan ujian, tetapi dengan seni, gerak, budaya, dan cinta. Mengubah wajah pendidikan tak selalu harus menunggu kebijakan besar.

Justru perubahan sering dimulai dari ruang-ruang kecil dari kelas yang memberi waktu anak berekspresi, dari rumah yang mendengar suara anak tanpa menghakimi. Mari kita mulai dari sana. Misalnya, coba ajak anak ngobrol soal perasaannya hari ini, ajak mereka menggambar bebas tanpa tema, atau sekadar berjalan-jalan sore sambil bercerita. Karena seperti yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara: mendidik itu bukan memaksa, tapi menuntun.

Dan penuntun yang baik tahu bahwa langkah kecil pun bisa membawa perubahan besar, asal dilakukan dengan hati.


*Penulis: Yunisa Cahyani, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM)


Pewarta :
Uploader : Ronny
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
OSZAR »